Upaya Pemerintah untuk Mempertahankan Status Geopark Kaldera Toba
Pemerintah Indonesia sedang berupaya keras agar Geopark Kaldera Toba kembali mendapatkan pengakuan dari UNESCO. Setelah sebelumnya menerima kartu kuning pada 2023, kini pihak terkait berkomitmen untuk memperbaiki berbagai kekurangan yang telah disarankan oleh lembaga internasional tersebut. Dengan waktu dua tahun hingga Juli 2025, seluruh pihak mulai bekerja sama untuk memenuhi standar yang ditetapkan.
Keterlibatan Berbagai Pihak dalam Penyusunan Rencana Perbaikan
Berbagai instansi seperti Kementerian Pariwisata, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, dan pemerintah kabupaten/kota di sekitar Danau Toba melakukan koordinasi intensif. Fokus utama adalah menyelesaikan perbaikan sesuai rekomendasi yang diberikan setelah tim penilai UNESCO mengunjungi wilayah tersebut pada akhir Agustus 2023. Salah satu langkah penting adalah penyusunan site plan oleh Badan Pengelola Toba Caldera UNESCO Global Geopark bersama Dinas Sumber Daya Energi dan Mineral Provinsi Sumatera Utara.
Alokasi Dana untuk Pembangunan Infrastruktur Wisata
Dalam rangka memperkuat daya tarik Geopark Kaldera Toba, pemerintah mengalokasikan dana alokasi khusus (DAK) sebesar Rp 56,6 miliar untuk tahun 2024. Dana ini digunakan untuk membangun sarana dan atraksi wisata baik di kawasan bahari maupun non-bahari. Selain itu, dana juga dialokasikan untuk daerah budaya di delapan kabupaten sekitar Danau Toba. Salah satu proyek yang menjadi prioritas adalah pembangunan gapura utama, totem, dan panel situs di Geosite Silalahi, Kabupaten Dairi.
Seminar Internasional sebagai Bentuk Diplomasi Akademik
Selain pembangunan fisik, Kementerian Pariwisata dan pengelola Kaldera Toba juga menyelenggarakan seminar internasional. Acara The 1st International Conference on Geotourism Destination – Toba Caldera UNESCO Global Geopark di Parapat, Simalungun, pada 8 Juli 2025, menghadirkan pembicara ternama seperti Soojae Lee (Asesor UNESCO Global Geopark), Nordiana Nordin (Deputy Manager Langkawi UNESCO Global Geopark), dan Dermawan Sitompul (Dosen Geologi Institut Teknologi Medan). Seminar ini bertujuan untuk meningkatkan visibilitas dan posisi Geopark Kaldera Toba di mata dunia.
Rekomendasi dari UNESCO untuk Perbaikan Geopark
UNESCO memberikan beberapa rekomendasi yang harus dipenuhi. Pertama, diversifikasi cerita geologi agar tiap situs tidak hanya menjadi objek visual, tetapi juga memiliki narasi edukatif yang bisa dinikmati oleh masyarakat umum. Penjelasan harus sederhana, terstruktur, dan tersedia dalam berbagai bahasa agar dapat menjangkau wisatawan internasional.
Selain itu, pemerintah didorong untuk memperluas survei geologi guna menemukan lebih banyak situs yang layak masuk dalam jaringan geopark. Warisan alam, budaya, dan tak benda di sekitar Danau Toba juga harus diidentifikasi dan diinventarisasi secara komprehensif. Narasi dari seluruh situs yang ada perlu disatukan menjadi satu alur cerita yang utuh agar Geopark Kaldera Toba tidak terlihat sebagai bagian yang terpisah.
Pentingnya Pembaruan Konten dan Kolaborasi dengan Geopark Lain
Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri Wardhana, menekankan pentingnya pembaruan konten di media sosial, panel situ, hingga brosur promosi. Ia menyarankan bahwa semua materi harus menggunakan bahasa Inggris atau bahasa ketiga agar jangkauannya mencakup wisatawan mancanegara. Selain itu, pengelola kawasan Kaldera Toba diharapkan aktif berkolaborasi dengan geopark lain, baik di dalam negeri maupun dalam jaringan Asia Pacific Geoparks Network (APGN) dan Global Geoparks Network (GGN).
Mengapa Status Geopark Sangat Penting?
Status Geopark yang diberikan oleh UNESCO bukan hanya tentang gengsi. Jika Kaldera Toba gagal memperbaiki diri hingga masa revalidasi dimulai pada 21 Juli 2025, status geopark bisa dicabut. Dampaknya akan signifikan, baik dari sisi pariwisata, konservasi, hingga ekonomi lokal. Citra Kaldera Toba sebagai destinasi kelas dunia bisa menurun, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara bisa berkurang, dan akses terhadap dana bantuan internasional serta program konservasi berpotensi dihentikan. Lebih jauh, pencabutan status ini bisa menjadi catatan buruk bagi komitmen Indonesia terhadap pelestarian alam dan budaya.