Pajak Kuliner Gorontalo: Rp 11 Miliar dalam 6 Bulan!

Posted on

Realisasi Pajak Makanan dan Minuman di Kota Gorontalo Lampaui 60% Target

Pemerintah Kota Gorontalo melalui Badan Keuangan mencatat perkembangan menggembirakan dalam penerimaan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) dari sektor makanan dan minuman. Hingga 26 Juli 2025, realisasi penerimaan pajak ini telah mencapai Rp 11,68 miliar, melampaui 60% dari target yang ditetapkan sebesar Rp 19,39 miliar untuk tahun ini. Capaian ini menunjukkan kinerja yang positif, mengingat masih ada waktu sekitar lima bulan tersisa dalam tahun anggaran.

Kepala Bidang Pendapatan Badan Keuangan Kota Gorontalo, Yanto Kadir, menjelaskan bahwa target penerimaan pajak selalu ditingkatkan setiap tahunnya, berdasarkan pada realisasi penerimaan di tahun sebelumnya. Hal ini mencerminkan optimisme pemerintah daerah terhadap potensi sektor kuliner di Kota Gorontalo.

Pertumbuhan Usaha Kuliner dan Tantangan Pemungutan Pajak

Pesatnya pertumbuhan usaha kuliner di Kota Gorontalo, mulai dari rumah makan, kafe, restoran, hingga warung kopi, menjadi salah satu faktor pendorong peningkatan penerimaan pajak. Badan Keuangan secara rutin melakukan analisis terhadap jumlah usaha makanan yang beroperasi di wilayah tersebut.

Namun, pertumbuhan ini juga menghadirkan tantangan tersendiri. Sebagian besar usaha kuliner yang bermunculan masih berskala Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang belum tentu memenuhi kriteria untuk dikenakan pajak.

“Memang banyak usaha makanan dan minuman baru dalam skala UMKM. Kuliner dan jajanan di Kota Gorontalo tumbuh cukup bagus, namun tidak semua mereka dikenakan pajak,” ujar Yanto Kadir.

Kriteria Pengenaan Pajak dan Sistem Self-Assessment

Penetapan suatu usaha sebagai wajib pajak PBJT makanan dan minuman tidak hanya didasarkan pada omzet semata. Menurut Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, omzet minimal yang harus dicapai sebuah usaha untuk dikenakan pajak adalah di atas Rp 2 juta per bulan. Meskipun demikian, omzet bukanlah satu-satunya faktor penentu. Ada beberapa variabel lain yang juga menjadi pertimbangan.

Sistem pemungutan PBJT makanan dan minuman di Kota Gorontalo menggunakan mekanisme self-assessment. Dalam sistem ini, kepercayaan penuh diberikan kepada wajib pajak untuk melaporkan dan membayarkan pajak secara mandiri.

“Ini model pemungutannya adalah self-assessment, artinya kepercayaan penuh diberikan kepada wajib pajak untuk melaporkan dan membayarkan pajak itu,” jelas Yanto Kadir.

Pengawasan Rutin dan Fenomena Kafe

Meskipun menggunakan sistem self-assessment, Badan Keuangan tetap melakukan pengawasan rutin untuk memastikan akurasi dan kejujuran pelaporan pajak. Pengawasan ini dilakukan dengan membandingkan laporan yang disampaikan oleh wajib pajak dengan kondisi riil di lapangan.

Dalam pengawasan tersebut, ditemukan fakta menarik, yaitu adanya beberapa kafe yang ramai pengunjung namun kontribusi pajaknya relatif rendah. Hal ini disebabkan oleh fenomena di mana pengunjung menghabiskan waktu yang lama di kafe, meskipun hanya membeli sedikit makanan atau minuman.

“Beberapa kafe justru menjadi tempat orang berkerumun, frekuensi orang duduk lebih lama daripada apa yang ia beli,” ungkap Yanto Kadir. Fenomena ini sering terjadi di warung kopi yang menyediakan fasilitas Wi-Fi gratis.

Potensi Besar dan Perubahan Mindset

Potensi usaha kuliner di Kota Gorontalo dinilai sangat besar. Namun, dari ratusan usaha yang ada, baru sekitar 300-an yang terdata sebagai wajib pajak PBJT. Yanto Kadir menjelaskan bahwa kendala utama dalam meningkatkan jumlah wajib pajak bukanlah masalah teknis, melainkan perubahan mindset para pengusaha.

“Kendala paling besar dalam pemungutan ini adalah merubah mindset pengusaha, itu yang salah,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa pajak ini sebenarnya tidak dibebankan kepada pemilik usaha, melainkan kepada konsumen yang menikmati jasa makanan dan minuman. Pajak tersebut merupakan kontribusi dari konsumen untuk pembangunan daerah.

“Bukan pengusaha makanan atau minuman yang bayar, tetapi orang yang makan dan minum yang mereka sebenarnya adalah yang menikmati jasa,” pungkas Yanto Kadir. Dengan pemahaman yang benar mengenai hal ini, diharapkan kesadaran para pengusaha untuk melaporkan dan membayarkan pajak secara jujur dapat meningkat, sehingga potensi penerimaan daerah dari sektor kuliner dapat dioptimalkan.