Fenomena Gerai F&B China yang Menggemparkan Pasar Indonesia
Dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 4.000 gerai makanan dan minuman (F&B) asal Tiongkok telah membanjiri Indonesia dan Vietnam. Perkembangan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengamat dan pelaku usaha lokal, karena dampaknya terhadap perekonomian negara.
Candaan seperti “Lihat ruko kosong sedikit, besoknya langsung jadi Mixue” sering muncul di media sosial akibat pertumbuhan pesat gerai es krim dan minuman Tiongkok di Indonesia. Selain Mixue, banyak merek F&B Tiongkok lainnya seperti Tomoro Coffee, Chagee, dan Haidi Lao juga mulai menjamur di berbagai wilayah Jabodetabek. Hal ini membuat UMKM lokal harus bersaing dengan ketat.
Menurut laporan lembaga riset Momentum Works yang dirilis pada Januari 2023, F&B Tiongkok melakukan ekspansi besar-besaran ke Asia Tenggara dalam tiga tahun terakhir, yaitu sejak 2022 hingga 2025. Dalam waktu tersebut, lebih dari 6.100 gerai F&B Tiongkok dibuka di kawasan Asia Tenggara. Dua pertiganya, atau sekitar 4.000-an gerai, tersebar di Indonesia dan Vietnam.
Kenapa F&B Tiongkok Bisa Masuk Secara Masif?
Pandemi Covid-19 menjadi momen penting bagi bisnis F&B Tiongkok di Indonesia. Saat UMKM lokal terpaksa tutup akibat wabah, gerai F&B Tiongkok justru berkembang pesat. Susanty Widjaja, pelaku UMKM di bidang kuliner, mengatakan bahwa saat bisnisnya harus tutup, gerai F&B Tiongkok justru membanjiri pasar Indonesia.
Menurut Bhima Yudhistira, pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), model bisnis F&B Tiongkok mirip dengan UMKM, berbeda dari restoran internasional seperti McDonald’s atau KFC. Meskipun demikian, lisensi waralaba F&B Tiongkok biasanya dikelola oleh perusahaan kecil dengan target pasar kelas menengah ke bawah, sementara lisensi dari negara Barat biasanya dipegang oleh konglomerat besar.
Persaingan yang Tidak Sehat
Persaingan antara UMKM lokal dan F&B Tiongkok tidak hanya terjadi dalam hal harga, tetapi juga dalam branding dan strategi pemasaran. Menurut Susanty, F&B Tiongkok memiliki daya tarik kuat karena desain gerai yang menarik dan promosi yang masif di media sosial. Contohnya, Chagee, merek teh Tiongkok yang populer, berhasil menarik perhatian generasi muda melalui iklan digital.
Selain itu, biaya operasional di Indonesia lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga. Misalnya, biaya sewa tempat di Singapura mencapai US$20 per meter persegi, sedangkan di Indonesia hanya US$4,92. Biaya listrik di Indonesia juga lebih murah, yaitu US$0,07 per kWh dibandingkan US$0,23 di Filipina.
Ancaman terhadap UMKM Lokal
Kehadiran F&B Tiongkok menimbulkan ancaman besar terhadap UMKM lokal. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah UMKM mamin di Indonesia turun dari 3,9 juta pada 2019 menjadi 1,9 juta pada 2024. Bahkan setelah pandemi, angka ini belum kembali ke tingkat sebelum wabah.
Bhima Yudhistira menyatakan bahwa UMKM sangat penting untuk perekonomian nasional karena uang hasil usaha mereka akan berputar di lingkungan sekitar. Sementara itu, pendapatan F&B Tiongkok cenderung dikirim ke negara asal, sehingga berdampak pada devisa dan stabilitas nilai tukar rupiah.
Langkah yang Diperlukan
Susanty dan Bhima mengajukan beberapa langkah agar UMKM lokal bisa bertahan. Pertama, pemerintah perlu memberikan regulasi pembatasan jarak antara gerai F&B asing dan UMKM lokal. Kedua, pemerintah perlu memperkuat daya saing UMKM melalui peningkatan efisiensi rantai pasok dan dukungan insentif pajak.
Selain itu, pelaku UMKM perlu meningkatkan strategi pemasaran dan pengurangan biaya produksi agar bisa bersaing. Mereka juga perlu memperkuat branding agar dapat menarik konsumen kelas menengah yang cenderung terpengaruh tren.
Kesimpulan
Perkembangan F&B Tiongkok di Indonesia menunjukkan tantangan besar bagi UMKM lokal. Dengan kebijakan yang tepat dan dukungan pemerintah, UMKM bisa tetap bertahan dan berkembang. Namun, jika tidak ada intervensi, ancaman terhadap perekonomian nasional akan semakin nyata.